Retail Experience

00.48




Topik ini mungkin sudah sering dibahas, banyak pengalaman buruk maupun manis yang dialami konsumen ketika mengunjungi sebuah retail outlet, dan sudah banyak case study yang dibedah. Namun, ketika kita memiliki kesempatan untuk mengelola sebuah retail business, banyak hal yang kadang luput dari pengamatan kita sebagai brand owner maupun retail manager.
1. Outlet akan lebih sulit berkembang jika hanya sekedar menjadi outlet.
Hal ini sepertinya berlaku untuk produk premium atau mass premium, meskipun untuk retail produk menengah ke bawah seperti toko Indomaret maupun Alfamart mungkin tidak terlalu signifikan.
Contoh yang paling mudah adalah Apple, retail brand ini menjadi contoh paling mudah, karena menjadi gold standard untuk pengelolaan retail dan profitability. Sales Apple store mencapai rekor tertinggi di US, sekitar $5,647 per foot square. Hal ini bukanlah kebetulan karena Steve Jobs mendesain Appel Store dengan cermat, bahkan dalam biografi Steve Jobs disebutkan prototype Apple Store dibongkar pasang berulang-ulang sampai ketemu desain paling ideal, setiap cm diperhatikan dengan detail. Tak heran jika sekarang Apple Store bagaikan sebuah kuil bagi para fans loyal Apple, tidak sekedar outlet biasa.
Namun Distro Crooz di kawasan Duren Tiga menjadi contoh real, bagaimana sebuah bisnis retail lokal merangkul fans loyal dan juga mengelola penggemar band-band Indie sehingga menjadi customer loyal mereka. Crooz merangkul band Pee Wee Gaskins dan Killing Me Inside yang terbukti menjadi model bisnis yang sustainable buat mereka. Customer Crooz menganggap outlet ini tidak hanya sekedar outlet, namun sebuah pengalaman mereka untuk berkomunikasi dengan band idaman.
2. Human sebagai Asset.
Mengelola manusia sebagai asset juga tidak mudah, karena setiap manusia memiliki pemahaman yang berbeda akan suatu brand. Tentu referensi dari setiap manusia adalah pengalaman mereka sebelumnya, jika biasa memegang toko kelontong, tentu butuh waktu untuk memahami proses bisnis jika disuruh memegang outlet GAP.
Kunci di sini adalah determinasi dan long-term-training. Hal ini sudah terbukti, apalagi di Indonesia, kebanyakan karyawan akan mengeluh ataupun malas jika disuruh ikut training. Padahal sebagai owner kita menginginkan layanan yang prima untuk semua customer. Long term training dikombinasikan dengan praktek di tempat kerja ternyata lebih efektif untuk meningkatkan standar layanan sebuah outlet.
Ritz Carlton di sini menjadi salah satu referensi dalam hal servis, karena hampir di semua cabang Ritz Carlton kita mendapatkan pengalaman serupa yang berkualitas. Mempelajari best practice di hospitality industry seperti Ritz Carlton akan menjadi pengalaman yang unik bagi brand di industri lain.
3. Human Touch.
Sekali lagi, pasar membuktikan brand-brand yang memperhatikan kebutuhan konsumennya, dan memiliki empati kepada customer mereka memiliki profitability yang lebih tinggi. Human Touch ini memang sulit untuk diajarkan, karena terkait dengan personalilty seseorang. 
Dibutuhkan brainwash yang terus menerus supaya kultur melayani konsumen ini bisa mendarah daging dalam diri karyawan. Bank Niaga telah berhasil memberikan standar yang tinggi untuk servis, dari satpam sampai teller memberikan salam dan sapaan hangat kepada konsumen. 
Zappos juga memiliki filosofi untuk "memanusiakan karyawan". Mereka bahkan sudah lebih advance dengan menjadikan happines sebagai DNA perusahaan. Ini tidak mudah, butuh tahunan bagi Tony Hsieh untuk menanamkan ide ini. Begitu juga yang dilakukan oleh Singapore Airlines dan Blue Bird, human touch menjadi differentiator mereka di persaingan pasar penerbangan dan pasar taxi yang sangat keras.
Ketiga hal di atas adalah hal yang paling krusial untuk diperhatikan. Kesuksesan sebuah brand berawal dari kemampuan mereka memanage ujung tombak penjualan ini. Secara konsep di atas kertas, semua brand bisa melakukannya, tetapi hanya sedikit brand yang mampu mengeksekusi konsep ini menjadi the winning business model.
Happy Eid Mubarak, mohon maaf lahir dan batin.

You Might Also Like

0 komentar