Interview Doug
McMillon di Harvard Business Review edisi Maret 2017 sangat menarik, tema yang
dibicarakan adalah bagaimana raksasa retail sekelas Wal Mart melakukan
transformasi di era digital.
Ini juga pas
dengan tema “Customer Shifting Powers - The Producers & Customers Collaboration”, acara MIST (Marketing Insight Seminar & Training) FEBUI (Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI) beberapa minggu
yang lalu, yang kebetulan meminta saya untuk menjadi mentor bagi adik-adik
mahasiswa dari berbagai universitas: ada yang dari Universitas Indonesia, UPH,
Unibraw, UGM, dll. Serta juga sangat relevan bagi pemain startup di industri fashion maupun industri lainnya yang masih mengandalkan toko fisik dan ingin berubah menjadi pemain online.
Satu hal yang di
singgung oleh McMillon adalah: sekitar tahun 1908 Sears Roebuck merevolusi
dunia retail dengan mengkombinasikan bisnis katalog dan physical store melalui product assortment, value, dan service, serta pengiriman melalui jaringan
kereta yang saat itu baru mulai eksis di Amerika. Wal Mart sendiri juga menjadi raksasa di Amerika, saat ini memiliki total 4.600 toko serta hadir di 28 negara di dunia, dengan menggunakan data consumer analytic yang sangat kompleks serta pressure kepada supplier-suppliernya. Datangnya Amazon, yang merevolusi dunia retail dengan digital assortment,
supply chain yang kuat dan pengiriman kilat merubah permainan di industri retail.
Jika Wal Mart
tidak bergerak cepat, maka bisnis retail model brick-and-mortar yang mengandalkan
toko fisik saja akan semakin ketinggalan dari pesaing-pesaingnya yang ganas di
dunia digital. Tahun 2014 saja Amazon.com sudah memiliki sekitar 244 juta member, Wal Mart sendiri saat terjun ke bisnis e-commerce mencatatkan pertumbuhan sebesar 12% dengan penjualan USD 13.7 milyar, bandingkan dengan Amazon.com yang mencatat penjualan sebesar USD 135.98 milyar di tahun 2016.
![]() |
Image: Area fulfilment Amazon.com |
Salah satu
langkah menarik yang dilakukan Wal Mart adalah mengakuisisi Jet.com, sebuah
start up digital dan mempelajari dengan cepat cara Jet.com melayani pelanggannya.
Dengan smart basket program, fee-based membership, dan algorithm khusus untuk harga, mereka
percaya jika customer diberikan service dan harga terbaik, mereka akan rela
sedikit menunggu, dan bersedia menjadi member tanpa harus embel-embel free shipping atau fast shipping.
Tentu saja itu
hanya salah satu langkah raksasa ini ingin memasuki dengan cepat dunia
digital. Selain itu, masih banyak juga customer yagn tidak hanya ingin berbelanja online, tapi juga ingin merasakan pengalaman fisik dan "bertamasya" di supermarket. Kombinasi e-commerce yang kuat dengan "pengalaman yang tak terlupakan" di store, akan menjadi kombinasi strategi marketing yang sangat ampuh.
Strategi lain yang
bisa dipelajari dan diadopsi bagaimana pengalaman industri airline dan kartu
kredit. Jika hanya bersaing harga, tentu Amazon atau online travel agent akan
dengan mudah memenangkan persaingan.
Namun program
“Frequent Flyers” bisa merubah peta persaingan di antara mereka. Kenyataannya, ternyata masih sangat banyak customer yang
rela mengorbankan convenient dan
harga lebih murah – demi mendapatkan “rewards points” dari airline tersebut. Jika
konsep ini dibawa ke dunia retail, loyalty program ini bisa meyakinkan
pelanggan setia Wal Mart atau pelaku retail tradisional lainnya untuk
menghindari ancaman pemain e-commerce yang agresif. Hal ini juga bisa
diterapkan bagi brand-brand retail di Indonesia, yang sedang menghadapi ancaman
pemain retail global.
Salam.
- 22.07
- 0 Comments