Citayam Fashion Week dan Subversive Culture - Part 1

19.28







Citayam Fashion Week (CFW) awalnya membuat dahi kita berkerut dan bertanya-tanya, apalagi buat anak Jakarta Selatan yang mengerti wilayah tetangganya seperti: Depok, Citayam, dan Bojonggede. Kata Citayam dan Fashion Week itu dalam "persepsi" orang awam, ibarat dua kutub yang saling berlawanan: Citayam identik dengan daerah "pinggiran" yang di "persepsikan" kurang fashionable dan kata "Fashion Week" sendiri lebih identik dengan anak-anak Jakarta yang dipersepsikan lebih borju, modis dan gemerlap.

 
Sebenarnya untuk anak Jakarta sendiri sudah ada ajang Jakarta Fashion Week (JFW) yang menjadi event fashion tahunan yang gegap gempita, namun biaya yang sangat mahal (ratusan juta untuk berpartisipasi) guna mengikuti event berkelas Internasional tersebut, menjadi hal yang tidak mudah dijangkau oleh banyak anak muda, terutama dari wilayah pinggiran.

Kalau kita jalan-jalan di sekitar Depok, Citayam dan Bojonggede, tidak banyak ruang publik yang bisa ditemui seperti kawasan pedestrian elit Sudirman dan Dukuh Atas - dalam bayangan mereka, di wilayah mereka sendiri, kurang pas untuk gaya street style seperti yang ada di film-film ataupun di kanal-kanal youtube dan tik tok yang sering mereka intip. Background gedung bertingkat, mobil-mobil keren yang lewat, suasana lampu kota yang gemerlap, dll. adalah bayangan ideal mereka.


Tetapi kali ini anak Jakarta harus mengakui, mereka kalah kreatif dengan anak-anak Citayam dalam menghidupkan kembali gaya street style -- anak-anak muda yang berhasil membuat heboh dan viral ke seluruh pelosok negeri dengan Citayam Fashion Week mereka.

Kalau sedikit flashback ke era 1980-an, Melawai menjadi episentrum gaya street style saat itu, di jaman itu rasanya kurang hits kalau tidak mejeng jalan-jalan sore di sepanjang Melawai dan Blok M. Namun sayangnya di tahun 1990-an sampai tahun 2010-an area tersebut pindah ke dalam area komersial seperti shopping mall, bukan di ruang publik di area terbuka.


Perubahan kebijakan pemda yang merestorasi ruang publik dan sidewalks, bisa jadi menjadi salah satu trigger atau pemicu kembalinya tren street style di banyak kota di Indonesia. Revitalisasi area Taman Menteng, Sudirman, Kemang di Jakarta,
kawasan Tunjungan di Surabaya, di kawasan Malioboro di Jogja yang dibebaskan dari pedagang kaki lima, atau kawasan Kayutangan di Malang, yang diperbaiki lebih cantik area pedestriannya, revitalisasi tersebut menjadi faktor pendukung kembalinya ruang publik yang bisa diakses oleh semua orang.




Jika diseriusi, sebenarnya area sidewalk, atau menutup jalanan untuk mobil dan menjadikannya area khusus pejalan kaki membawa banyak keuntungan bagi seluruh warga kota. Studi di Eropa by Eltis (bisa dilihat di sini) mengatakan bahwa Total biaya yang dikeluarkan oleh Uni Eropa untuk pengendara mobil adalah sekitar 500 milliar Euro, namun jika diconvert menjadi area pejalan kaki justru menghasilkan benefits senilai 66 milliar Euro dan jika dirubah menjadi area sepeda benefitnya adalah 24 milliar Euro.

CFW memang terlihat seperti tumbuh organik, anak muda yang didominasi Gen Y (lahir antara tahun 1981 - 1995) dan Gen Z (lahir antara tahun 1996 - 2012) dari kawasan suburban yang tidak memiliki tempat "ideal" di Citayam untuk menyalurkan hasrat untuk berkumpul di tempat keren -- rela naik KRL dari stasiun Citayam selama 1 jam 37 menit, menuju kawasan dekat stasiun Dukuh Atas Jakarta -- yang lebih tertata rapi dengan suasana ala kota besar.

Zebra Cross di dekat stasiun disulap menjadi area catwalk bagi mereka, dan mereka bebas bergaya apapun -- tidak ada yang melarang atau diatur dengan tetek-bengek ala standar aturan fashion.

Namun ada berita lain yang mungkin menambah bumbu CFW semakin menarik, bahwa kota Depok ingin bergabung dengan DKI Jakarta, tak dipungkiri berita ini menjadi amunisi pendorong bagi anak-anak muda Citayam -- seperti snowball effect (efek bola salju) di berita nasional yang membuat mereka semakin dikenal masyarakat luas.


Subversive and Pop Culture

Teori subversive fashion sangat relate dengan fenomena CFW: anak-anak dari daerah pinggiran yang ingin mengeskpresikan kehidupan mereka, seolah ingin menunjukkan bahwa dunia fashion tidak hanya milik orang-orang berduit di Jakarta.

Definisi Subversive culture adalah sebuah pernyataan ataupun gesture dari sekolompok orang baik soal politik maupun budaya, kebanyakan berasal dari orang-orang yang merasa terpinggirkan atau tidak memiliki power untuk didengar suaranya lewat jalur formal.

Dengan modal baju dari "thrift shop" atau toko baju bekas (walaupun di dunia barat istilah thrift shop sebenarnya lebih tepat ke toko baju untuk amal) yang harganya terbilang sangat miring dibanding yang ada di shopping mall besar, mereka sudah bisa bergaya dan berkumpul dengan anak-anak muda lain yang merasa senasib sepenanggungan.

Tetapi, kabar terbaru saat ini, anak-anak Citayam-Depok-Bojonggede sepertinya mulai tergeser, daerah Dukuh Atas kembali "dikuasai" oleh anak-anak Jakarta. Bahkan muncul tagar "Created by poor, stolen by the rich" sangat mewakili situasi ini. Baim Wong dan istrinyapun sangat gercep mendaftarkan merek Citayam Fashion Week ke dirjen HAKI, satu langkah yang ditentang banyak orang. 



Harajuku, Tokyo, Jepang.

Contoh Subversive and Pop Culture yang paling klise dan sering dijadikan rujukan adalah daerah Harajuku, di kota Tokyo, Jepang. Kawasan ini awalnya hanya tempat nongkrong anak muda yang suka dengan baju cosplay -- namun akhirnya menjadi fenomena global yang dikagumi di seluruh dunia.

Dalam perkembangannya, Harajuku Street Style berkembang menjadi banyak subgenre fashion seperti: Lolita, Punk, Gothic, Gyaru, Ganguro, Yamanba, Visual Kei, dll. Mereka kurang lebih memiliki spirit yang sama dengan anak-anak muda Citayam: tidak mau diatur dengan "aturan normal" dunia fashion: mau gaya tabrak warna, gaya anti-mainstream seperti Gothic, gaya anak sekolahan, ataupun gaya punk rock, semuanya bebas. Semangat pemberontakan menyala-nyala di dada anak-anak muda ini. 


Majalah Fruits Jepang berusaha menangkap fenomena ini dan menjadikannya bacaan "wajib" buat anak muda yang suka hal-hal berbau Harajuku. Kawasan sekitarnya seperti Omotesando Street, Takeshita Street, Yoyogi Park menjadi lokasi strategis bagi label fashion yang ingin masuk ke dunia anak-anak muda tersebut.





         Image: Lolita Style, a Victorian era inspired style.



          Image: Punk Style. Memori akan masa ketenaran Punk-Rock style, menjadi simbol dan inspirasi desain anak muda yang ingin "memberontak". Jaket kulit, sepatu boots, anting-anting, zippers menjadi menu wajib.




         Image: Decora Style - menampilkan kesan Kawaii atau cute atau imut, baju warna-warni dan tabrak warna menjadi sesuatu yang menarik.



          Image: Gyaru Style. Atau gaya anak cewek sekolahan,
 kata ini berasal dari bahasa Inggris "Gal" yang dieja orang Jepang  menjadi Gyaru - karikatur tipikal anak muda Amerika.



Carnaby Street, London, UK.

Di London, fenomena serupa terjadi di tahun 1960-an, anak-anak muda London "memberontak" mereka ingin mengekspresikan diri dengan gaya mereka sendiri. Subversive fashion pun lahir di Carnaby Street, London. Saat ini jalan tersebut dipenuhi dengan butik label-label terkenal dan juga beberapa label independen -- jalanan di depan butik tersebut menjadi semacam catwalk bagi publik yang sedang melintas.

So, jika pusat fashion label-label besar di London berada di Oxford Street (istilah lokalnya high street), maka Carnaby Street menjadi semacam alternative fashion.







Tentu di kota-kota besar lainnya di dunia, fenomena serupa mungkin telah banyak terjadi, mulai dari Madrid, Los Angeles, Budapest, Moskow, Buenos Aires, Rio de Janeiro, dll. nanti akan dibahas lebih detail lagi dalam artikel terpisah.



Fashion: Rebel Culture & Creative Industry.

Di tahun 2022 ini mungkin kita terbiasa melihat cewek menggunakan celana panjang ataupun anak muda menggunakan Jeans. Tetapi jika kita flashback kembali ke beberapa ratus tahun sebelumnya, dua item fashion ini sebenarnya awalnya juga adalah sebuah rebel fashion.

Jeans awalnya digunakan oleh para pelaut Genovese (Genoa) medio tahun 1500-an, kemudian ditiru oleh orang Eropa lainnya, dan akhirnya dibawa ke Amerika Serikat. Tahun 1873, Levi Strauss dan Jacob Davis mendapatkan hak paten "celana petani" tersebut -- celana jeans yang diperkuat dengan metal rivets supaya lebih durable atau tahan lama, untuk digunakan di lahan-lahan pertanian ataupun area pertambangan.

Antara 1873 - 1955, celana Jeans sangat identik dengan pekerja kasar, petani, ataupun pekerja tambang, menggunakan celana ini untuk pergi ke restauran ataupun ke sekolah adalah sebuah hal tabu - "Big No No". Bahkan kita bisa diusir dengan paksa dari restoran atau dihukum di sekolah jika menggunakan celana tersebut.


Namun setelah aktor Amerika terkenal tahun 1950-an - James Dean, menggunakan celana ini dalam film Rebel Without A Cause, kepopuleran Jeans langsung meledak. Simbol anti-kemapanan langsung melekat di celana Jeans dan sampai sekarang menjadi celana normal sehari-hari untuk pergi ke mall, sekolah maupun ke kantor - hal yang tadinya tabu menjadi sebuah hal normal.


Sebelum celana Jeans, kategori celana itu sendiri awalnya adalah hal tabu untuk digunakan oleh wanita di masa lalu. Di awal abad ke-20, "fashion normal" yang menjadi value saat itu adalah wanita harus menggunakan rok panjang. Tahun 1930-an larangan tidak resmi tersebut "ditabrak" oleh artis jaman tersebut Marlene Dietrich dan Katherine Hepburn, dan baru tahun 1960-an desainer dunia mulai mengadopsi gaya celana panjang untuk wanita pada umumnya dan di tahun 1970-an baru celana panjang/trousers bisa diterima banyak kalangan untuk digunakan di sekolah maupun kantor.


Surprised? Tentu hal ini akan terus berputar kembali - tren fashion seperti roda sepeda yang menunggu momen untuk berada di posisi tertentu. Rebel Fashion pun batasannya menjadi semakin blur atau tidak jelas, desainer dunia saat ini tidak segan-segan untuk mengadopsinya menjadi tren fashion dan didorong menuju ke mainstream fashion.


Di level yang lebih tinggi, fashion apalagi baju yang kita pakai di badan adalah sebuah personal statement - sebuah extension yang menunjukkan gaya hidup tertentu, ketertarikan/interest, dan juga nilai-nilai yang dianut. Citayam Fashion Week hanyalah salah satu puncak gunung es - di bawahnya ada ruang-ruang publik yang ingin diakses dengan mudah dan gratis oleh masyarakat Indonesia, ruang-ruang ini telah disita oleh shopping mall, perumahan ruko-ruko dan kawasan komersial lainnya. Anak-anak muda ini memberontak, ingin menunjukkan bahwa mereka juga berhak untuk mengekspresikan keinginan mereka di tengah himpitan hidup dan ruang yang semakin terbatas.









You Might Also Like

0 komentar