Catatan ringan acara sharing pengusaha kuliner

06.41




Hari minggu yang lalu saya menghadiri sebuah acara “foodpreneur sharing session”  sharing antar pengusaha kuliner, yang diadakan oleh Week End Center. Industri ini sangat menarik, karena merupakan salah satu dari tiga serangkai Sandang, Pangan, dan Papan yang menjadi kebutuhan dasar konsumen Indonesia. Catatan ringan ini merupakan titik awal, jadi masih sifatnya hipotesis awal, detail struktur marketing dan branding akan dishare di artikel berikutnya.

Beberapa kali saya mengajak bicara dan diskusi teman-teman yang bergelut di industri ini, ada yang sukses dan ada juga yang gagal total. Yang menarik adalah yang sukses kadang tidak begitu mengerti mengapa dia sukses, sedangkan yang gagal juga kadang bingung mengapa dia gagal meskipun sudah berusaha mempersiapkan bisnisnya sematang mungkin.

Sesi pertama diberikan Bapak Sartono, pemilik warung Indomie (Warmindo) Abang Adek. Warung ini sempat populer dan bahkan booming karena Indomie pedasnya yang konon menjadi Indomie terpedas di dunia: Pedas sedang (10 cabai), pedas (25 cabai), pedas garuk (50 cabai), pedas gila (75 cabai) dan pedas mampus (100 cabai), membuat banyak orang penasaran dan ingin mencoba. Beliau mengatakan, di puncak booming omzet/revenue warungnya bisa mencapai Rp. 30 juta dalam satu hari. Ketika ditanya oleh salah satu peserta sesi sharing tersebut, beliau dengan bercanda malah sedikit bingung apa resepnya, karena yang dia lakukan adalah memadukan cabai dan mie instan dan berusaha menjualnya kepada konsumen setianya. Puncak boom penjualan warung mie Abang Adek ini adalah tahun 2016, setelah itu sales terus turun dan bahkan harus menutup beberapa cabang.

Ini mirip dengan cerita beberapa orang kawan yang juga ingin memiliki bisnis kuliner, kemudian mempersiapkan semua detail teknis restoran tapi kemudian tetap masih gagal. Mungkin beliau juga bingung ketika ditanya, apa penyebab kegagalan bisnis yang dia rintis, ketika semua aspek sudah dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Dari beberapa pencarian insight di beberapa kafe di Jakarta, coffee shop-coffee shop baru yang buka bak cendawan tumbuh di musim hujan, kurang lebih juga memiliki problem yang sama. Ada faktor X yang sepertinya luput dari pengamatan ataupun terlewat ketika mempersiapkan sebuah bisnis F&B -  dan faktor X ini menjadi fatal karena menentukan kelangsungan sebuah bisnis.

Riki Kono, pemilik brand Dore dan pancake, seorang keturunan Jepang - Arab namun WNI, mempersiapkan brandnya dengan sangat matang. Menurut pengamatan saya, konsep dasar brand yang dia lakukan sudah hampir semua tercover, detail elemen-elemen brandingnya juga sudah sangat baik dipersiapkan. Namun ketika ditanya mengenai bisnisnya, beliau mengatakan bahwa tahun lalu bisnisnya lumayan struggling, bahkan sempat hampir terlintas dalam pikirannya untuk menutup bisnisnya.

Kalau melihat case study di atas, masing-masing brand memiliki keunikan dalam men-setting business modelnya, warung Indomie Abang Adek menjadi hits ketika Indomie pedasnya menjadi viral dan membuat orang penasaran. Dan lokasi warung pertamanya di Tomang sangat strategis, karena dekat dengan banyak tempat kos mahasiswa, yang menurut Pak Sartono adalah konsumen yang potensial karena hampir sepanjang hari doyan makan/ngemil.  Ketika akhirnya banyak orang juga tertarik membuat mie pedas, dan membuat pasar menjadi saturated (jenuh) maka sensasi Indomie pedas ala Warung Abang Adek menjadi tidak relevan lagi dengan target marketnya, karena bisa di substitusi oleh pemilik warung brand lain.

Restoran milik salah seorang teman akhirnya juga gagal, karena sepertinya waktunya lebih banyak terkuras untuk mempersiapkan detail operasional restoran dan melupakan unsur marketing (pemasaran) produk, sehinga ketika akhirnya restoran tersebut dibuka jumlah pengunjung ternyata jauh di bawah target, ini ibarat gadis cantik tapi sibuk dandan di rumah tapi lupa tidak pernah keluar untuk bersosialiasi, akhirnya yang naksir atau yang datang menghampiri menjadi sedikit.

Kopi Tuku yang awalnya masih dalam fase "early adoption" di kalangan anak hipster Jakarta Selatan, menjadi booming ketika dikunjungi oleh Presiden RI, faktor X yang bisa dimanfaatkan oleh Kopi Tuku. Riki Kono dan brand Dore dengan positioning ingin menjadi produsen gift shop dengan content cheese cake terbaik di Indonesia, mungkin aware berdasarkan data pasar, namun real customer market gift (hadiah) dan juga market size cheese cake ini yang mungkin tidak sesuai data pasar? Dan apakah cheese cake bisa menjadi kultur kuliner di Indonesia? Ini faktor X yang mungkin sulit diraba jika memang tidak terjun membuka bisnis untuk emraih market tersebut.

Faktor X ini menarik, karena banyak sekali anak-anak muda yang kehilangan uang sampai milyaran rupiah akibat membuka usaha restoran dan tak lama kemudian tutup karena revenue tidak sesuai harapan. Mungkin faktor ini tidak hanya dimonopoli oleh industri F&B, tapi juga industri retail, fashion, otomotif, dll.  Insya Allah, artikel berikutnya akan mengupas lebih banyak tentang faktor X ini. 


Salam.


Hary Novianto

You Might Also Like

0 komentar